Dongeng Lingkungan Hidup yang Menggembirakan dan Mencerahkan
Dongeng Lingkungan Hidup yang Menggembirakan dan Mencerahkan
Senang rasa hati Sidik seusai menerima sebuah biskuit cokelat. Senyumnya mengembang. Ia tidak segera membuka bungkusnya meskipun ingin, Ia mau menikmatinya di rumah.
”Bungkusnya harus dibuang di tempat sampah,” kata Sidik sambil beringsut berdiri.
Matanya masih menyimpan binar riang. Sore itu, bersama teman-temannya, Sidik baru saja mendengar kisah tentang Si Momot dan Si Kentus, tokoh anak rekaan Kak Dwi dari Gerakan Para Pendongeng Untuk Kemanusiaan (Geppuk). Kedua anak kakak-beradik itu awalnya dikisahkan saling bermusuhan, tetapi kemudian rukun dan akrab.
Mimik dan suara Dwi yang berubah-ubah membuat sekitar 45 anak yang memadati sebuah ruang kelas itu tertawa. Tawa kembali meledak ketika Awal (10) dan adiknya, Amat (9), maju ke depan. Menurut teman-temannya, kisah kakak-beradik itu mirip cerita Momot dan Kentus. Kisah itu membuka pertemuan antara Dwi, Resha rekannya dari Geppuk, serta Oppie Andaresta yang kebetulan adalah duta dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan anak-anak itu. Atas inisiatif sendiri selama hampir dua jam, mereka bertiga mendongeng dan mendendangkan beberapa lagu tentang pentingnya pelestarian
lingkungan. Menurut Resha, ia dan Dwi telah mendatangi 13 pengungsian. Hari itu, Oppie ikut untuk pertama kali. Awalnya, Oppie ingin menempatkan kegiatan itu sebagai bagian dari rehabilitasi pascabanjir, tetapi ia melihat kesempatan itu sebagai ruang potensial untuk membangun habitus baru yang lebih ramah lingkungan.
Melalui dongeng, mereka membagi pengetahuan tentang pentingnya menanam pohon, menjaga lingkungan, hingga penghematan energi. Kisah yang ringan membuat anak-anak cepat paham dan sigap menyebutkan kebiasaan hidup yang ramah lingkungan, seperti menghemat air dan listrik serta tidak membuang sampah sembarangan.
Ayu (12) mengaku terhibur dengan acara mendongeng ini. Meski tidak libur, siswa kelas VI SD itu sudah seminggu tak masuk sekolah. Banjir membuatnya harus bertahan di pengungsian. ”Biasanya hanya duduk dan ngobrol, bosan,” katanya.
Dari jendela kaca kelas itu, orang tua mereka melihat dengan suka. Lebih dari seminggu ini, mereka harus berkutat dengan banjir yang menggenangi rumah mereka dan membekukan tawa anak-anak itu.
Ruang kelas yang digunakan sore itu pun baru dua hari terakhir bebas dari genangan banjir, lumpur, dan sampah yang turut hanyut di Sungai Ciliwung yang mengalir tepat di samping sekolah. Petang itu, anak-anak pulang dengan senyum mengembang dan bekal baru tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam.
Celoteh kecil Sidik sore itu bak kritik pedas atas buruknya kebiasaan warga Ibu Kota yang abai terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan. Celoteh itu juga menjadi kritik kepada pemerintah yang tidak optimal menjaga bantaran dan hulu sungai. Seusai dongeng petang itu, Sidik dan rekan-rekannya pulang dengan senyum dan harapan